Meskipun lumayan telat, tapi gw lagi suka-sukanya baca bukunya Dr. Dino Patti Djalal (Staf Khusus Kepresidenan), yang berjudul ‘Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY’
Buku ini ngebuat gw ngerasa deket banget sama SBY (yang termasuk salah satu idola gw juga)
Gw jadi ngerasa lebih memasuki keseharian dan kepribadian dari SBY
Gw jadi ngerasa ikut pusing saat beliau menghadapi krisis
Gw jadi ngerasa ikut marah ketika beliau coba dijatuhkan oleh lawan politiknya dengan cara yang nggak bener
Dan menurut gw yang terpenting dari buku ini adalah, gw jadi lebih ngerti bagaimana dinamika menjadi seorang pemimpin itu
Gw sangat sepaham dengan Wim Tangkilisan (CEO Globe Media) tentang buku ini, “Buku ini adalah buku terbaik di Indonesia mengenai kepemimpinan”
Mungkin itu juga ilmu yang ingin dibagikan oleh Dinno Patti Djalal kepada kita, ilmu kepemimpinan
Ada satu kisah yang menarik dan merupakan salah satu favorit gw di buku ini
Sewaktu mendampingi SBY ke Meulaboh (pada saat bencana tsunami), penulis bertemu dengan Catur, teman lamanya sewaktu bertugas di Timor Timur tahun 1999
Penulis mengenal Catur sebagai seorang perwira TNI yang pendiam, profesional, dan suka kerja
Catur saat itu terlihat sangat sibuk melakukan tugasnya menyelamatkan rakyat di Meulaboh
Namun, Catur saat itu sangat berbeda dengan Catur yang dulu dikenal
Kali ini matanya sayu, mukanya sangat murung dan ia tak banyak bicara
Ketika Catur membantu tim menyiapkan bahan briefing kepada SBY, barulah ketahuan sebabnya
Ternyata sewaktu tsunami datang tanggal 26 Desember 2004, istri dan anaknya sedang bermain-main di pantai Meulaboh
Mereka tersapu tsunami dan hilang tak berbekas, sampai sekarang
Saat kejadian itu Catur sedang bertugas di pos militernya
Walaupun hatinya sangat terkoyak dan walaupun komandannya memberikan memberikan ia izin untuk mencari istri dan anaknya, Catur tetap memilih untuk berada di posnya dan tetap menjalankan tugasnya menolong rakyat
“Saya sudah pasrah. Saya sudah tidak kuat membayangkan nasib istri dan anak saya. Tugas saya ini adalah obat hati saya. Saya harus menolong rakyat” katanya dengan lirih
Dan pastinya masih banyak perwira lainnya yang kehilangan keluarganya, namun tetap bersemangat menjalankan tugasnya
Presiden SBY waktu itu menyebut mereka dengan julukan ‘silent hero’
Gw pun teringat salah satu cerita temen gw cewek beberapa waktu yang lalu
Saat itu dia lagi kebingungan untuk ngerjain tugasnya
Dia bingung, karena dia kurang menguasai tugasnya itu
Akhirnya, si cewek itu minta bantuan temen cowoknya
Yang notabene mereka berdua merupakan orang yang pernah bertemu di masa lalu
Gw sangat dekat dengan mereka berdua
Mereka sempat menjalani kisah cinta yang akhirnya terlarang (kayak judul lagu aja… lagunya Waljinah apa ya?)
Jadi, banyak banget yang menentang mereka untuk deket lagi,
termasuk gw (jika dilihat dari kacamata logika)
Si cowok pun langsung cerita sama gw, kalo dia dimintain bantuan sama si cewek itu untuk ngerjain salah satu tugasnya
Gw nanya sama cowok itu, “Trus, lo gimana?”
“Ya udah, gua bantuin lah… emang kenapa, ini hanya sebuah bantuan seorang teman kok” jawab si cowok (sok) merendah
I know you…,batin gw
Sebelomnya gw juga nanya sama si ceweknya, “Kok dia yang lo pilih? Emang nggak ada yang laen?”
“Nggak ada yang se tanggung jawab dia” jawab tuh cewek singkat
Emang sih ini ‘cuma’ tugas aja, tapi kalo diliat dari sudut yang lain, itu bukan sekedar tugas
Tapi rasa kepercayaan yang masih ada, (selain tdd atau ‘tugas diam-diam’ kalo kata mereka berdua)
Mungkin kayak prinsip orang Cina kali ya? Kepercayaan itu lebih berharga dari keuntungan
Tugas ini pun kelar dengan batas waktu yang cuma seadanya itu
Si cewek merasa sangat puas dengan bantuan si cowok tersebut
Entah dapet nilai apa itu urusan belakangan, tetapi rasa kepuasannya nggak bisa tergantikan
Berkali-kali si cewek itu memamerkan tugasnya sama gw, “Baguskan… baguskan?” sahutnya kegirangan
Akhirnya, di dalem tugasnya itu si cewek membuat ucapan terima kasih untuk orang-orang lain yang juga udah ngebantuin tugas tersebut
Seperti yang udah gw duga, nama si cowok gak ada disitu
“Lo nggak apa-apa, nama lo nggak ada di ucapan makasihnya?” tanya gw sama si cowok waktu ketemu di suatu kesempatan
“Yup, nggak apa-apa kok… kadang-kadang jadi the silent person itu enak kok, selama itu bisa ngebuat orang lain seneng” jawab cowok itu, dan kali ini dia bener-bener merendah, gw bisa ngerasain itu
There are two kinds of heroes :
Heroes who shine in the face of great adversity, who perform an amazing feat in a difficult situation
And heroes who live among us, who do their work without ceremony, unnoticed by many of us
But who make a difference in the lives of others
The glory lies not in the achievement but in the sacrifice
(Presiden SBY, Time Magazine, Oktober 2005)
The silent person, atau the silent hero mungkin itu juga julukan yang pas buat si cowok
Dia udah jadi hero untuk si cewek, meskipun hanya sekedar bantuin tugas aja
Tapi gw yakin, itu sangat berarti
Sabtu, 27 Juni 2009
The Silent Hero
Diposting oleh
Argadi
di
03.13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar